Benarkan pulau Sumatra telah dikenal
oleh Rasulullah saw semasa hidup, serta telah dilalui dan disinggahi para
pedagang dan pelaut Arab di masa itu? Pernyataan ini diungkap Prof. Dr.
Muhammad Syed Naquib al-Attas di buku terbarunya “Historical
Fact and Fiction”.
Kesimpulan
Al-Attas ini berdasarkan inductive methode of reasoning. Metode ini, ungkap
al-Attas, bisa digunakan para pengkaji sejarah ketika sumber-sumber sejarah
yang tersedia dalam jumlah yang sedikit atau sulit ditemukan, lebih khusus lagi
sumber-sumber sejarah Islam dan penyebaran Islam di Nusantara memang kurang.
Ada dua fakta yang al-Attas gunakan untuk sampai pada kesimpulan di atas.
Ada dua fakta yang al-Attas gunakan untuk sampai pada kesimpulan di atas.
Pertama, bukti sejarah Hikayat Raja-Raja Pasai yang di
dalamnya terdapat sebuah hadits yang menyebutkan Rasulullah saw menyuruh para
sahabat untuk berdakwah di suatu tempat bernama Samudra, yang akan terjadi
tidak lama lagi di kemudian hari.
Kedua, berupa terma “kāfūr” yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Kata ini berasal dari kata dasar “kafara” yang berarti menutupi. Kata “kāfūr” juga merupakan nama yang digunakan bangsa Arab untuk menyebut sebuah produk alam yang dalam Bahasa Inggris disebut camphor, atau dalam Bahasa Melayu disebut dengan kapur barus.
Kedua, berupa terma “kāfūr” yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Kata ini berasal dari kata dasar “kafara” yang berarti menutupi. Kata “kāfūr” juga merupakan nama yang digunakan bangsa Arab untuk menyebut sebuah produk alam yang dalam Bahasa Inggris disebut camphor, atau dalam Bahasa Melayu disebut dengan kapur barus.
Masyarakat
Arab menyebutnya dengan nama tersebut karena bahan produk tersebut tertutup dan
tersembunyi di dalam batang pohon kapur barus/pohon karas (cinnamomum
camphora) dan juga
karena “menutupi” bau jenazah sebelum dikubur. Produk kapur barus yang terbaik
adalah dari Fansur (Barus) sebuah kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah,
Sumatera Utara, yang terletak di pantai barat Sumatra.
Dengan demikian tidak diragukan wilayah Nusantara lebih khusus lagi Sumatra telah dikenal oleh Rasulullah saw dari para pedagang dan pelaut yang kembali dengan membawa produk-produk dari wilayah tersebut dan dari laporan tentang apa yang telah mereka lihat dan dengar tentang tempat-tempat yang telah mereka singgahi.
Dengan demikian tidak diragukan wilayah Nusantara lebih khusus lagi Sumatra telah dikenal oleh Rasulullah saw dari para pedagang dan pelaut yang kembali dengan membawa produk-produk dari wilayah tersebut dan dari laporan tentang apa yang telah mereka lihat dan dengar tentang tempat-tempat yang telah mereka singgahi.
Dalam acara bedah buku “Historical Fact and Fiction” yang baru-baru ini (13/11) diselenggarakan oleh Islamic Studies Forum for Indonesia (ISFI) bekerja sama dengan Persatuan Pelajar Sulawesi Selatan (PPSS) di kampus International Islamic University Malaysia (IIUM), Prof. Dr. Tatiana Denisova, dosen di Departemen Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Akademi Studi Islam di Universitas Malaya Kuala Lumpur Malaysia, mengungkapkan kesetujuannya dengan al-Attas dalam penggunaan inductive methode of reasoning dalam mengkaji sejarah.
Muslimah asal Rusia yang pandai berbahasa Melayu ini setuju dalam masalah ini berdasarkan pengalaman Denisova yang setiap hari menghadapi masalah kurangnya bahan-bahan dan kajian-kajian dalam bidang ilmu sejarah Islam di Nusantara, dan berdasarkan kenyataan konsep sejarah Islam yang tidak berasaskan pada konsep dan falsafah Islam.
Lebih lanjut, mantan staf domestik di KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) di Rusia yang mendorong al-Attas menulis buku tersebut dan membantu al-Attas dalam menyediakan bahan-bahan tulisan untuk penulisan buku tersebut lebih lanjut menjelaskan menurutnya ada empat faktor penyebab minimnya sumber dan kajian sejarah Islam dan sejarah penyebaran Islam di Nusantara.
Pertama, sumber dan karya ilmiah sejarah Islam yang ditulis
dalam huruf Jawi/Pego (Arab latin) oleh masyarakat Nusantara tidak begitu
terkenal di kalangan ilmuwan Barat karena tidak banyak dari mereka yang pandai
membaca tulisan Jawi.
Kedua, banyak sumber sejarah yang hilang atau tidak
diketahui keberadaannya pada zaman penjajahan.
Ketiga, biasanya sumber-sumber sejarah yang ditulis
masyarakat Nusantara dianggap oleh orientalis sebagai artifak sastra, sebagai
karya dongeng atau legenda, yang hanya bisa dipelajari dari sudut filologi atau
linguistik, dan tidak bisa diterima sebagai sumber sejarah yang sempurna dan
benar.
Para
orientalis hanya membicarakan dan menganalisa gaya bahasa dan genre, tetapi
tidak memperhatikan informasi-informasi lain yang berkaitan dengan fakta
sejarah berupa aktivitas ekonomi, undang-undang, aktivitas intelektual dan lain
sebagainya.
Keempat, karena minimnya sumber dan kajian sejarah Islam Nusantara
membuat para ilmuwan Barat hanya menggunakan sumber, kajian dan tulisan dari
luar Nusantara termasuk dari Barat. Mereka tidak memperhatikan atau mungkin
tidak tahu adanya bahan-bahan dan informasi yang terdapat dalam berbagai sumber
sejarah Islam termasuk sumber-sumber sejarah dari wilayah Nusantara.
Dalam acara bedah buku yang dihadiri 120 orang mahasiswa dan mahasiswi IIUM yang berasal dari Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei tersebut.
Dalam acara bedah buku yang dihadiri 120 orang mahasiswa dan mahasiswi IIUM yang berasal dari Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei tersebut.
Prof. Dr.
Abdul Rahman Tang, dosen pasca sarjana di Departemen Sejarah dan Peradaban, Kulliyyah of
Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences di International Islamic University
Malaysia, selaku pembanding menyatakan kajian sejarah Islam Nusantara yang
dilakukan al-Attas dalam buku tersebut sebagian besar bersifat spekulatif.
Salah satu fakta spekulatif tersebut adalah hadits yang terdapat dalam Hikayat Raja Raja Pasai. Menurutnya, fakta-fakta tersebut bisa valid jika telah menjalani proses “verification of fact”. Namun Al-Attas tidak melakukan proses ini terhadap hadits tersebut.
Salah satu fakta spekulatif tersebut adalah hadits yang terdapat dalam Hikayat Raja Raja Pasai. Menurutnya, fakta-fakta tersebut bisa valid jika telah menjalani proses “verification of fact”. Namun Al-Attas tidak melakukan proses ini terhadap hadits tersebut.
Muslim China
warga Malaysia ini mempertanyakan status hadits ini dan mengkhwatirkan
implikasinya terhadap pemikiran masyarakat Nusantara. Menurutnya, al-Attas
melakukan inductive methode of reasoning secara tidak konstruktif.
Sedang Dr. Syamsuddin Arif, dosen IIUM asal Jakarta, selaku pembicara kedua dalam acara bedah buku tersebut mengungkapkan kesimpulan al-Attas di atas logis dan sesuai dengan fakta.
Sedang Dr. Syamsuddin Arif, dosen IIUM asal Jakarta, selaku pembicara kedua dalam acara bedah buku tersebut mengungkapkan kesimpulan al-Attas di atas logis dan sesuai dengan fakta.
Hal ini
berdasarkan perjalanan pelaut dan pedagang Arab pada masa Rasulullah saw yang
pergi ke China. Untuk mencapai negeri China melalui laut tak ada rute lain
kecuali melalui dan singgah wilayah Nusantara.
Lebih lanjut Arif mengemukakan berbagai teori dan pendapat tentang kapan, dari mana, oleh siapa, dan untuk apa penyebaran Islam di Nusantara beserta bukti-bukti dan fakta-fakta yang digunakan untuk mendukung pendapat-pendapat tersebut.
Arif juga menjelaskan ilmuwan siapa saja yang memegang dan yang menentang pendapat-pendapat tersebut.
Di akhir makalahnya, Arif mempertanyakan pendapat J.C. Van Leur yang pertama kali menyatakan bahwa penyebaran Islam di Nusantara dimotivasi oleh kepentingan ekonomi dan politik para pelakunya.
Lebih lanjut Arif mengemukakan berbagai teori dan pendapat tentang kapan, dari mana, oleh siapa, dan untuk apa penyebaran Islam di Nusantara beserta bukti-bukti dan fakta-fakta yang digunakan untuk mendukung pendapat-pendapat tersebut.
Arif juga menjelaskan ilmuwan siapa saja yang memegang dan yang menentang pendapat-pendapat tersebut.
Di akhir makalahnya, Arif mempertanyakan pendapat J.C. Van Leur yang pertama kali menyatakan bahwa penyebaran Islam di Nusantara dimotivasi oleh kepentingan ekonomi dan politik para pelakunya.
Van Leur
dalam bukunya “Indonesian Trade and Society” berpendapat, sejalan dengan
melemahnya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Sumatera dan khususnya di Jawa,
para pedagang Muslim beserta muballigh lebih berkesempatan mendapatkan
keuntungan dagang dan politik. Dia juga menyimpulan adanya hubungan saling
menguntungkan antara para pedagang Muslim dan para penguasa lokal.
Pihak yang
satu memberikan bantuan dan dukungan materiil, dan pihak kedua memberikan
kebebasan dan perlindungan kepada pihak pertama. Menurutnya, dengan adanya
konflik antara keluarga bangsawan dengan penguasa Majapahit serta ambisi
sebagian dari mereka untuk berkuasa, maka islamisasi merupakan alat politik
yang ampuh untuk merebut pengaruh dan menghimpun kekuataan.
“Namun, benarkah demikian? That’s a problem!”, ungkap Arif.
Suasana debat akademis di antara pembicara yang “pro dan kontra” terhadap karya al-Attas dalam acara bedah buku tersebut cukup memanas tetapi tetap mengedepankan akhlaqul karimah dan mengedepankan rasio dibanding emosi.
“Namun, benarkah demikian? That’s a problem!”, ungkap Arif.
Suasana debat akademis di antara pembicara yang “pro dan kontra” terhadap karya al-Attas dalam acara bedah buku tersebut cukup memanas tetapi tetap mengedepankan akhlaqul karimah dan mengedepankan rasio dibanding emosi.
Begitulah
semestinya debat ilmiah para ilmuwan Muslim.*/Abdullah
al-Mustofa, penulis
peneliti ISFI (Islamic Studies Forum for Indonesia) Kuala Lumpur, Malaysia
0 comments:
Post a Comment