Raja terbaik kaum Muslimin
“Aku tidak melihat kecuali kebaikan dan tidak terdengar pula kecuali
kebaikan”
(Umar
Bin Khotob)
Study Sejarah peradaban islam tidak akan
lengkap tanpa menelaah jejak para Khalifah dan lika-liku kekhilafahan umat
islam dari masa ke masa, baik itu dari
kholifah Ar-Rasyidah yang penuh dengan futuhat islamiyah, khilafah
Umawiyyah yang mulai berbenah dalam administrasi kenegaraan, Abbasiyah
yang mashur dengan perkembangnya
keilmuan, sastra dan arsitektur, dinasti Saljuk yang di kenal kuat militernya,
Fatimiyah di mesir, daulah Umawiyyah di dataran benua Eropa tepatnya di
Andalusia dengan masa keemasanya yang meninggalkan masjid Qordoba dan kota Az
Zahra, kesultanan Mogul di India yang meninggalkan salah satu karya arsitektur
super indah dan tercatat sebagai salah satu “The seven Wonders of the World”,
Tajmahal serta kekhilafahan Turki Ustmani yang di kenal dengan pasukan elitnya
“Jenissari” mampu bertahan hingga awal
abad 19.
Berbicara masalah sejarah kita tidak terlepas
dari para tokoh pelaku sejarah tersebut yang memenuhi catatan-catatan para
Muarikh atau para sejarawan sehingga tak pelak kalau catatan mereka sampai berjilid-jilid
sebut saja Imam At-Thobari penulis dari
kitab At-Tarikh At Thobari, Ibnu Katsir yang melahirkan kitab Al Bidayah Wa An
Nihayah 14 jilid, Ibnu Khaldun dengan kitab “Muqadimah li Ibn Khaldun”.
Siapakah beliau
?
Salah satu
tokoh yang berpengaruh dalam peradaban Islam ialah Muawiyah bin Abu Shafyan Radhiallahu
‘Anhu, salah seorang sahabat mulia yang mendapatkan doa dari Rosulullah sholallau
alaihi wa salam sebagaimana diriwayatkan oleh imam At-Tirmidzi dari
jalur Abdurrahman bin Abi Umairah Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wa salam berkata kepada Muawiyah “Allahumajalhu haadiyan mahdiiyan wa
ahdzi bihi” Al Bani menyatakan bahwa hadis ini shahih.
Para sejarawan sepakat bahwa beliaulah sang
pendiri kekhilafahan Umawiyyah dengan Damaskus sebagai ibu kotanya. Pembahasan
mengenai beliau penuh pro dan kontra, tidak sedikit yang memuji dan tidak
terbilang pula yang mencerca, terutama ketika dan setelah terjadinya fitnah
sampai terbunuhnya Ustman bin Affan dan puncaknya dengan meletusnya perang
Sifin antara Ali bin Abi Tholib dan Muawiyah bin Abi sofyan. Untuk lebih jelas
mengenai perang Sifin bisa merujuk pada kitab “Waqoatu Sifin” yg ditulis oleh
syeikh Ibnu Mazaakhim Al Munqirii.
Beliau lahir di mekah 15 tahun sebelum
hijrahnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam, terlahir dari keluarga
bangsawan, ayahnya ialah Abu Sofyan salah seorang pemimpin Qurais, ibunya
Hindun Binti Utbah. Beliau masuk islam pada tahun 8 H di hari penaklukan Mekah.
ada pula sebagian pakar sejarah yang
mengatakan 7 hijriah. Beliau ikut pada peperangan Hunain bersama Rasulullah Shalallau
‘alaihi wa salam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum. Beliau juga
termasuk “Mualafatu Qulubuhum”, maka tidak heran klo beliau diberi 40 uqiyah
dan 100 ekor unta dari ghanimah perang Hunain. sebagai mana yang di sebutkan
oleh Safi’urrohman Mubarok Furri dalam kitabnya “Rokhiqu Al Makhtum”.
Amir Syam
Imam Syuyuti dalam kitabnya “Tarikh Al Khulafa”
mengatakan “ ketika Abu Bakar As-Shidiq mengirim pasukan ke Syam, Muawiyah ikut
serta bersama saudaranya Yazid bin Abu Shafyan yang menjadi amir. Ketika Yazid
meninggal Muawiyah menjadi Gubernur
Damaskus mengantikan saudaranya, Yazid bin Abi Shafyan. Kemudian
ditetapkan kembali pada zaman Umar bin Khattab dan pada zamannya Ustman beliau
di angkat menjadi gubernur seluruh wilayah Syam” beliau menjabat sebagai
gubernur wilayah Syam selama 20 tahun.
Pada tahun 35 hijriah terjadi hal yang
membelalakan mata setiap muslim, mendung kesedihan menyelimuti Madinah dan
seluruh wilayah islam pada waktu itu dengan terbunuhnya Ustman bin Affan.
kholifah Ar-Rasyidah ketiga, Dzu Nuroin dan pemberi bekal Jaisy Al Usrah.
Beliau syahid di bunuh oleh sekelompok pemberontak yang tidak suka pada Utsman
secara khusus dan tidak suka dengan persatuan dan kemajuan kaum muslimin pada
saat itu. Kemudian kaum muslimin sepakat untuk membaiat Ali bin Abi tholib
sebagai kholifah ke empat.
Ali bin Abi tholib menjabat sebagai khalifah
pada saat yang amat sulit, di satu sisi beliau ingin memperbaiki stabilitas
daulah, sedangkan di sisi lain banyak pihak yang menuntut balas atas kematian
Utsman bin Affan termasuk ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha dan Muawiyah
bin Abi Shafyan yang tergolong kerabat dekatnya. Pada 21 Romadhon tahun 40
hijriah Abdurrohman Bin Muljam menikam Ali bin Abi Tholib di jalan ketika
beliau hendak pulang dari sholat subuh dengan pedang beracun sehingga beliau
meninggal tiga hari setelah peristiwa tersebut. Kemudian Al Hasan bin Ali Bin
Abi Tholib naik menjadi kholifah, tapi tidak seluruh kaum muslimin membaiatnya
khususnya penduduk Syam. Demi menjaga keutuhan umat dan menghindari pertumpahan darah kaum
muslimin maka Al Hasan bin Ali bin Abi Tholib turun dari jabatan kholifah dan
menyerahkanya kepada Muawiyah bin Abi Sofyan.
Lebih lanjut, Imam Asy-Syuyuthi mengatakan
bahwa Muawiyah bin Abi Shafyan naik sebagai kholifah pada bulan Rabi’ul Akhir, ada
juga yang mengatakan bulan Jumadil Ulaa tahun 41 hijriah, sejarah
mencatat, tahun tersebut dinamakan
dengan “Ammul Jama’ah” atau tahun persatuan. Bersatunya kaum muslimin dibawah
kholifah Muawiyah bin Abi Sofyan. Hal senada juga di sampaikan oleh Ibnu
Al-Atsiir dalam kitab beliau “Asadul Ghabah” dengan menambahkan “ Muawiyah
menjabat sebagai amir 20 tahun dan kholifah 20 tahun”.
Diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hambal, dari
jalur Al Irbadh bin Sariah bahwasanya dia mendengar Rosulullah sholallau alaihi
wa salam berdoa “ yaa Allah ajarilah Muawiyah menulis dan berhitung, dan
lindungilah ia dari azab” dari berkah doa tersebut maka Muawiyah masyhur
sebagai orang yang cerdas. Meneliti lebih jauh maka akan kita dapati kecerdasan
beliau akan tampak ketika beliau menerapkan strategi politik. Baik dalam kancah perpolitankan dalam negri muapun
luar negri yang berhadapan langsung dengan imperium Romawi dan Persi.
Beberapa hal yang dicapai muawiyah ketika
menjabat sebagai kholifah, di antaranya :
1.
Beliau orang
pertama yang Membangun armada angkatan laut islam.
2.
Menaklukan
(membuka) beberapa negri, Asia kecil,
Akhwas, Maghrib Al Adnaa( Tunisia) dll.
3.
Mendirikan
detasemen keamanan: 1. Al hajib ( Pasukan pamong praja), 2. Al Khiros ( security
guard), 4. Mendirikan badan inteljen daulah.
4.
Mendirikan markaz khotam ( segel/ stempel)
dll.
Beliau meninggal dunia di usia 78 di Damaskus,
pada bulan Rajab tahun 60 hijriah setelah menjadikan putranya , Yazid bin
Muawiyah sebagai wilayatul Ahd (colon penerus). Akibatnya banyak kalangan
sahabat yang tidak setuju karena ini termasuk hal yang baru dalam islam yang
sebelumnya memakai system syuura. Tapi, melihat keadaan saat itu yang sangat
berpotensi menimbulkan fitnah maka Muawiyah berijtihat untuk mengambil
wilayatul ahd. Banyak ulama dan pakar sejarah yang sepakat dengan keputusannya,
sebut saja Ibnu Taimiyah dalam kitab “Minhaju As Sunah”, Dr Muhammad Ahmad
Muhammad, ketua jurusan sejarah islam di Al Azhar juga mengamini ijtihat
Muawiyah.
Fenomena yang
ada
Sejauh pengamatan penulis, banyak kita dapati
kaum muslimin yang menamai putra dan putri mereka dengan nama-nama para
sahabat. Ada yang namanya Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Amru, Hasan, Husain,
Aisyah, Fatimah, Shofiyah. Tapi sangat jarang,
bahkan penulis belum pernah mendapati saudara, teman atau kenalan yang
bernama Muawiyah. Mungkin faktor kebodohan akan sejarah dan stigma negative
tentang beliau telah menjamur dan mengakar di sebagian kaum muslimin khususnya
kaum syi’ah.
Pendapat para
sahabat dan ulama mengenai beliau
Selain mendapatkan doa dari Rasulullah Shalallau
‘alaihi wa salam, banyak pemuka sahabat dan ulama salaf yang berpendapat
baik terhadap beliau. Tentu hal ini sudah lebih dari cukup untuk mematahkan
syubhat-syubhat yang di lontarkan oleh orang-orang jahil dan kaum Syi’ah yang
tidak senang terhadab beliau.
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu berkata :
aku tidak melihat seorang-pun yang lebih cakap setelah Rosulullah sholallau
alaihi wa salam dari Muawiyah, Sa’ad Bin Abi Waqas berpendapat : aku tidak
melihat seorangpun yang lebih berhak dalam urusan ini ( kekhilafahan), kecuali
Muawiyah.
Ibnu Mubarak pernah ditanya mana yang lebih
afdhal antara Muawiyah Bin Abi Syofyan dan Umar bin Abdul Aziz? Beliau menjawab
: sesunggungnya debu yang menempel pada lubang hidung Muawiyah ketika bersama
dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam lebih afdhal dari Umar Bin
Abdul Aziz.
Ibnu Taimiyah berkata mengenai Muawiyah : tidak
ada Raja dari kaum muslimin yang lebih baik dari Muawiyah. Ibnu Toba-Toba,
salah seorang sejarawan syi’ah juga berkomentar baik mengenai beliau. Lihat
dalam kitabnya “Al Fakh fii Al adaabi As Sultoniyah”
Semoga dengan tulisan ini bisa menambah wacana
ilmiyah kita dan merubah cara pandang kita terhadap pribadi Muawiyah bin Abi
Sofyan, penulis sadar, sebagai manusia
beliau juga punya banyak kekurangan dan kesalahan. Tapi berlebihan dalam
menyalahkan bahkan mengolok-oloknya adalah hal yang tidak patut di lakukan oleh
seorang Muslim.
Wallahu a’lam
bis showab.
Sumber :
1.
Tarikh Khulafa
karya Imam Asy Syuyuti
2.
Asadul Ghobah
karya Ibnu Al Atsiir.
3.
Mukhadhorootu
fii tarikh Ad Daulatain Al Ummawi wa Al Abbasi, karya Dr Muhammad Ahmad
Muhammad.
4.
Sunan At
Tirmidzi, karya imam At Tirmidzi.
5.
Wikipedia.com
6.
Al Bidayah Wa
An Nihayah, karya Ibnu Katsir.
7.
Ad Daulah Al
Ummawiyah, karya Asy Sya’labi.
8.
Rakhiqul Al
Makhtum, karya Shafi’urrohman Mubarok Furri.
Kuwait hostel,
Islamabad
15-3-2012.
0 comments:
Post a Comment