segala puji bagi Allah SWT, shalawat dan salam semoga tercurah kepada nabi
Muhammad SAW para sahabatnya dan seluruh pengikutnya hingga akhir zaman.
Pada asalnya segala sesuatu adalah mubah, kecuali ada dalil dan bukti yang menunjukkan keharamannya sebagaimana yang disebutkan di dalam kaidah fikih:
Apa-apa yang Allah SWT haramkan itu sudah jelas, Allah ta’ala berfirman:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang
terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali
yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang
disembelih untuk berhala. (QS: Al-Maidah Ayat: 3).
Hukum Makan Sembelihan Orang Kristen & Yahudi
Allah SWT berfirman:
Ibnu Abbas, Abu Umamah, Mujahid, Said bin Jubair, Ikrimah, Atho’, Al
Hasan Al Bashri, An Nakho’i, dan As Sa’di, Muqotil bin Hayyan
menafsirkan maksud “makanan orang-orang yang pernah diberi kitab” pada
ayat di atas adalah sembelihan mereka. Dan hal ini termasuk yang
disepakati oleh para ulama [Tafsir Ibnu Katsir, Juz 3 Hal 40].
Berdasarkan ayat di atas dapat difahami bahwa sembelihan orang-orang pernah diberi alkitab (Yahudi dan Nasrani) hukumnya halal, begitu pula sebaliknya makanan kita sebagai umat Islam halal bagi mereka, karena orang-orang Ahli Kitab juga mengharamkan makanan yang disembelih tanpa mengucapkan nama Allah SWT.
Al Qodhi Ibnu Arobi dalam Ahkamul Quran berkata dalam menafsirkan ayat di atas: “Ini suatu dalil yang tegas, bahwa binatang buruan dan makanan Ahli Kitab itu adalah termasuk makan yang baik-baik (thayyibaat) yang telah dihalalkan Allah SWT dengan mutlak. Allah SWT mengulang-ulanginya itu hanyalah bermaksud untuk menghilangkan keragu-raguan dan pertentangan-pertentangan yang timbul dari perasaan-perasaan yang salah, yang memang sering menimbulkan suatu pertentangan dan memperpanjang omongan” [Ahkamul Qur’an Li Ibnil Arabi, Juz 1 Hal 44]
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW juga pernah memakan (daging) pemberian seorang wanita Yahudi pada perang Khaibar, maka ini menunjukkan bahwa sembelihan orang Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani) adalah halal hukumnya. Namun Imam Malik rahimahullah memakruhkan sembelihan orang-orang Ahli Kitab jika didapati ada sembelihan seorang muslim, dan menganjurkan untuk menjauhinya selama masih didapati sembelihan dari kaum muslimin [Al Kafi Fi Fiqhi Alhil Madinah, Juz 1 Hal 438].
Imam Asy Syafii menyebutkan: “jika saja sembelihan mereka dengan
menyebut Asma Allah maka halal hukumnya, namun jika mereka memiliki
sembelihan lain dengan menyebut selain Asma Allah seperti dengan
menyebut nama Al Masih atau selainnya daripada nama-nama selain Allah
maka haram hukumnya” [Al Umm, Juz 2 Hal 254].
Hukum Makan Sembelihan Orang Hindu, Buddha, & Majusi
Berkenaan dengan situasi saat ini banyaknya penipuan, kurangnya
amanah dan kejujuran, serta minimnya ilmu di masyarakat, dan juga
orang-orang Ahli Kitab yang sudah tidak mengamalkan ajaran mereka maka
hendaklah kita berhati-hati di dalam memilih makanan sembelihan di luar
rumah, sebagai bagian dari Wara’ kita terhadap makanan yang
belum jelas hukumnya. Penulis menyarankan, pilihlah para penjual daging
yang terpercaya dan amanah sebagai langkah kehati-hatian kita menjaga
diri kita dari syubuhat. Meskipun sikap wara’ itu dalam aplikasi setiap orang berbeda beda. Wallahu A’lam Bis Showab.
(qowy)
Pada asalnya segala sesuatu adalah mubah, kecuali ada dalil dan bukti yang menunjukkan keharamannya sebagaimana yang disebutkan di dalam kaidah fikih:
الأصل فى الأشياء الاباحة حتى يدل الدليل على التحريم
“Hukum asal sesuatu itu mubah (boleh), kecuali ada dalil yang mengharamkannya”Apa-apa yang Allah SWT haramkan itu sudah jelas, Allah ta’ala berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ
وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ
وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى
النُّصُبِ
Hukum Makan Sembelihan Orang Kristen & Yahudi
Allah SWT berfirman:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُم
Artinya: “Hari ini dihalalkan yang
baik-baik buat kamu dan begitu juga makanan orang-orang yang pernah
diberi kitab (Ahli Kitab) adalah halal buat kamu, dan sebaliknya
makananmu halal buat mereka.” (QS. Al-Maidah Ayat : 5)
Berdasarkan ayat di atas dapat difahami bahwa sembelihan orang-orang pernah diberi alkitab (Yahudi dan Nasrani) hukumnya halal, begitu pula sebaliknya makanan kita sebagai umat Islam halal bagi mereka, karena orang-orang Ahli Kitab juga mengharamkan makanan yang disembelih tanpa mengucapkan nama Allah SWT.
Al Qodhi Ibnu Arobi dalam Ahkamul Quran berkata dalam menafsirkan ayat di atas: “Ini suatu dalil yang tegas, bahwa binatang buruan dan makanan Ahli Kitab itu adalah termasuk makan yang baik-baik (thayyibaat) yang telah dihalalkan Allah SWT dengan mutlak. Allah SWT mengulang-ulanginya itu hanyalah bermaksud untuk menghilangkan keragu-raguan dan pertentangan-pertentangan yang timbul dari perasaan-perasaan yang salah, yang memang sering menimbulkan suatu pertentangan dan memperpanjang omongan” [Ahkamul Qur’an Li Ibnil Arabi, Juz 1 Hal 44]
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW juga pernah memakan (daging) pemberian seorang wanita Yahudi pada perang Khaibar, maka ini menunjukkan bahwa sembelihan orang Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani) adalah halal hukumnya. Namun Imam Malik rahimahullah memakruhkan sembelihan orang-orang Ahli Kitab jika didapati ada sembelihan seorang muslim, dan menganjurkan untuk menjauhinya selama masih didapati sembelihan dari kaum muslimin [Al Kafi Fi Fiqhi Alhil Madinah, Juz 1 Hal 438].
Adapun sembelihan mereka untuk selain Allah
seperti salib, gereja, Al Masih Isa, maka ini haram hukumnya untuk
dimakan, karena mereka menyembelih bukan dengan nama Allah, Allah SWT
berfirman:
قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ
مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ
دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا
أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ
فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Artinya: Katakanlah “Tiadalah aku peroleh
dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang
yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah
yang mengalir atau daging babi — karena sesungguhnya semua itu kotor —
atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah SWT. Barangsiapa
yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang” (QS: Al-An’am Ayat: 145).
Hukum Makan Sembelihan di Pasar
Makanan sembelihan yang banyak dijual di
pasar yang diketahui penyembelihnya adalah orang muslim, Nasrani, atau
Yahudi, maka boleh hukumnya, tidak ada kewajiban untuk menanyakan cara
menyembelihnya, dan disebutkan di dalam hadis agar membaca Bismillah ketika hendak memakan makanan yang belum diketahui tata cara penyembelihannya:
Dari Aisyah radhiallahu ‘anhuma, bahwa suatu kaum pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Suatu kaum datang dengan membawa daging, namun kami tidak tahu apakah
saat menyembelihnya menyebut nama Allah atau tidak?” Beliau menjawab:
“Kalau begitu sebutlah nama Allah, lalu makanlah oleh kalian.” Aisyah
berkata, “Mereka adalah orang-orang yang baru masuk Islam,” [Shahih Al Bukhari, No 5083].
Berdasar hadis ini para ulama berpendapat,
bahwa segala sesuatu dihukumi baik, kecuali ada dalil (bukti) yang
menunjukkan sebaliknya. Dan juga berdasarkan kaidah fikih:
ما غاب عنا لا نسأل عنه
“Apa yang ghaib bagi kita, jangan kita tanyakan” [Fatawa Darul Ifta Al Misriyyah, Juz 1 Hal 224].
Adapun kalau seandainya daging sembelihan
itu didatangkan dari negara asing, dan yang melakukan penyembelihannya
adalah orang yang tidak halal hasil sembelihannya seperti Majusi, Hindu,
Buddha, atau penyembah berhala dan orang-orang yang tidak memiliki
agama, maka tidak halal (haram) untuk memakannya karena Allah tidak
menghalalkan makanan (sembelihan) dari selain muslimin, kecuali makanan
dari orang-orang yang diturunkan kitab kepada mereka yaitu Yahudi dan
Nasrani.
Dan mengenai makanan yang tidak memiliki
sertifikat halal dari ulama setempat, seperti Majelis Ulama Indonesia
(MUI), maka makanan tersebut harus dilihat kandungannya terlebih dahulu,
apakah ia makanan yang memiliki kandungan barang haram atau tidak,
namun pada hakikatnya label sertifikat hanyalah sebuah jaminan bagi
konsumen tentang kehalalan produk, bukan berarti semua yang tidak
bersertifikat adalah haram.
(qowy)
0 comments:
Post a Comment