Sunday 2 August 2015

      
   I’tikaf secara etimologi artinya Berdiam diri dan menahan (memenjarakan), secara terminologi artinya tinggal atau menetap di dalam masjid dengan niat beribadah guna mendekatkan diri kepada Allah Swt, I’tikaf adalah sarana muhasabah dan kontemplasi yang efektif bagi setiap muslim dalam memelihara dan meningkatkan kualitas keislamannya, khususnya dalam era globalisasi, materialisasi yang bisa menjadikan manusia lupa kepada Allah.

Sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits, bahwa Allah telah memuliakan bulan ramadhan dengan malam lailatul qadar, yang diyakini ibadah didalamnya lebih baik dari seribu bulan, oleh sebab itu dianjurkan bagi setiap muslim untuk berlomba - lomba  menggapai malam lailatul qadar, seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW bahwa beliau melaksanakan ibadah dalam 10 hari terakhir bulan ramadhan dengan sungguh – sungguh, salah satunya adalah dengan beri’tikaf, ‘Aisyah Radlhiallahu ‘Anha meriwayatkan :”Rasulullah SAW selalu beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan, sampai Allah mewafatkan beliau” (HR. Bukhari dan Muslim), maka disunnahkan bagi umat muslim untuk melaksanakannya di 10 hari terakhir bulan ramadhan

Keutamaan I’tikaf

Imam Abu Daud pernah bertanya kepada Imam Ahmad: Tahukah Anda hadits yang menunjukkan keutamaan I’tikaf ? Imam Ahmad menjawab : tidak, kecuali hadits yang lemah. Namun demikian tidak mengurangi nilai ibadah I’tikaf itu sendiri sebagai ibadah sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan cukuplah keutamaannya bahwa Rasulullah, para Sahabat, para Istri Rasulullah SAW dan para ulama salafusholeh senantiasa melakukan ibadah ini.


Ibnu Qayyim berkata : I’tikaf disyariatkan dengan tujuan agar hati beri’tikaf dan bersimpuh di hadapan Allah, berkhalwat dengan-Nya, serta memutuskan hubungan sementara dengan sesama makhluk dan berkonsentrasi sepenuhnya kepada Allah.

Macam - macam I’tikaf
  1. I’tikaf sunnah, yaitu I’tikaf yang dilakukan secara sukarela, semata mata untuk bertaqorrub kepada Allah, seperti I’tikaf 10 hari terakhir pada bulan Ramadhan.
  2. I’tikaf wajib, yaitu yang didahului dengan nadzar atau janji, seperti ucapan seseorang “kalau Allah ta’ala menyembuhkan penyakitku ini, maka aku akan beri’tikaf di masjid selama tiga hari”, atau “Saya bernadzar untuk melaksanakan I’tikaf selama tiga hari karena Allah” maka I’tikaf tiga hari itu menjadi wajib hukumnya.
Waktu I’tikaf

I'tikaf dapat berlangsung selama  bulan Ramadhan dan di luar bulan Ramadhan. Para ulama berbeda pendapat tentang lama beri'tikaf,
  • Menurut Madzhab Syafi’I dan Hambali, boleh beri’tikaf kapanpun tanpa ditentukan waktunya, dan dibolehkan beri’tikaf sesuai keinginannya baik satu jam, sehari, atau sebulan sebagaimana dibolehkannya bersedekah dengan banyak maupun sedikit, dan yang paling utama adalah dalam 10 hari terakhir bulan ramadhan.
  • Menurut Madzhab Hanafi dan Maliki, tidak boleh kurang dari satu hari, dan ini adalah pendapat Imam Abu hanifah yang disepakati dalam madzhab hanafi. Karena disyaratkan dengannya berpuasa, dan tidak ada puasa kecuali satu hari, maka batas minimal beri’tikaf adalah satu hari.
Tempat I’tikaf

Tempat yang digunakan untuk beri’tikaf adalah masjid, dan tidak boleh dilakukan selain di masjid, berdasarkan firman Allah :

“Tetapi jangan kalian campuri mereka, ketika kalian beri‘tikaf dalam masjid”.[Al Baqarah : 187]
  • Madzhab Maliki dan Syafii berpendapat, dapat dilakukan di masjid manapun, dan lebih utama di masjid yang di dalamnya didirikan shalat Jumat agar tidak perlu keluar ketika hendak melaksanakan shalat jumat.
  • Madzhab Hanafi dan Hambali berpendapat, harus dilakukan di masjid yang didirikan didalamnya shalat berjamaah.
Syarat Sah I’tikaf
  1. Muslim
  2. Berakal
  3. Suci dari janabah (junub), haidh dan nifas
Rukun I’tikaf
  1. Niat. Letaknya di hati dan tidak boleh dilafalkan. Sebatas keinginan untuk itikaf itu sudah dianggap berniat untuk i’tikaf.
  2. Dilakukan di masjid.
  3. Tidak keluar dari Masjid.
Hal Hal yang membatalkan I’tikaf
  1. Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan, meski sebentar,karena meninggalkan masjid berarti mengabaikan salah satu rukun I’tikaf yaitu berdiam di masjid.
  2. Murtad (keluar dari agama Islam)
  3. Hilang Akal, karena gila atau mabuk
  4. Haidh
  5. Nifas
  6. Berjima’ (bersetubuh dengan istri), apabila memegang tanpa syahwat, tidak apa-apa sebagaimana yang pernah dilakukan Nabi dengan istri istrinya.
Beberapa hal yang dibolehkan
  1. Keluar dari tempat I’tikaf untuk mengantar istri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap istrinya Shofiyah Radhiallahu ‘Anha.
  2. Keluar ke tempat yang memang amat diperlukan seperti untuk buang air besar dan kecil, makan, minum, dan segala sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di masjid. Tetapi harus segera kembali setelah menyelesaikan keperluannya.
  3. Mengeluarkan sebagian anggota tubuh dari masjid, karna tidak terhitung keluar dari masjid, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasukkan kepala beliau ke ruanganku ketika aku berada di dalam, kemudian aku menyisir rambut beliau, sedangkan aku dalam kondisi haid.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Catatan: Pintu ruangan Aisyah mepet dengan Masjid Nabawi.
  4. Dibolehkan menyisir rambut, dan membersihkan badan.
  5. Mengenakan pakaian biasa seperti yang dikenakan diluar I’tikaf.
  6. Tidak diharamkan memakai wewangian, namun dimakruhkan bagi perempuan memakainya, karena dimakruhkan bagi seorang wanita bersolek ketika pergi ke masjid.
  7. Dibolehkan menikah dan menikahkan seseorang, karna termasuk dalam ibadah.
  8. Boleh mempelajari ilmu dan mengajarkan, karena termasuk dalam tambahan kebaikan.
  9. Makan dan minum didalam masjid, dan jika menggunakan alas atau meja maka lebih baik.
Hal Hal yang dimakruhkan
  1. Dibolehkan dalam keadaan darurat melakukan urusan duniawi dari jual beli ringan, tetapi tidak boleh terlalu sering, dikarenakan makruh menggunakan masjid untuk urusan jual beli, tetapi tidak membatalkan I’tikafnya.
  2. Menyibukkan diri dengan hal – hal yang tidak bermanfaat, baik dalam bentuk ucapan dan perbuatan
  3. Berdiam diri dan tidak berbicara sama sekali, perbuatan ini dilarang dan menyerupai orang majusi.
Hukum – hukum yang menyangkut pelaksanaan I’tikaf
  1. I’tikaf tidak sah dilakukan oleh orang kafir, anak yang belum mumayyiz (mampu membedakan), orang junub, wanita haidh dan nifas.
  2. Tidak disyaratkan berpuasa ketika menjalankan I’tikaf (selain bulan ramadhan) menurut madzhab Syafi’I dan hukumnya sunnah, dan disyaratkan menurut madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali untuk berpuasa.
  3. Dalam I’tikaf wajib, keluar untuk menjenguk orang yang sedang sakit, dan keluar untuk shalat atau menguburkan jenazah, membatalkan I’tikaf menurut madzhab Syafi’I dan tidak membatalkan menurut madzhab Hanafi, Maliki, dan satu riwayat dalam madzhab Hambali.
  4. Seorang yang lupa lalu melakukan hubungan suami istri dalam keadaan beri’tikaf, tidak membatalkan I’tikafnya menurut madzhab Syafi’I, dan batal menurut madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali.
  5. Jika seorang yang beri’tikaf terserang sakit, maka ia boleh keluar dari masjid jika tidak memungkinkan tinggal di masjid, namun jika sakitnya ringan memungkinkan ia istirahat di masjid, maka tidak boleh keluar, jika keluar maka batal I’tikafnya.
  6. Hendaklah orang yg keluar melaksanakan hajatnya segera kembali setelah selesai, dan tidak menyibukkan diri dengan sesuatu yg tidak dibutuhkan.
I’tikaf bagi wanita
  1. Bagi seorang istri wajib mendapatkan izin dari suaminya bila ingin melaksanakan I’tikaf, agar tetap menjaga hubungan baik rumah tangga.
  2. Jumhur Ulama (Maliki, Syafi’I, Hambali) berpendapat tidak sah I’tikaf bagi perempuan kecuali di masjid, Madzhab Hanafi berpendapat boleh di masjid rumahnya (tempat khusus beribadah di rumah).
  3. Diperbolehkan bagi wanita untuk melakukan i’tikaf bersama suaminya atau sendirian di masjid, dengan syarat: ada izin dari walinya (suami atau orang tuanya) serta aman dari fitnah atau berdua - duaan dengan laki-laki. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai Allah merwafatkan beliau. Kemudian para istri beliau beri’tikaf setelah beliau meninggal.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
  4. Diperbolehkan bagi wanita mustahadhah (darah yang keluar karena penyakit untuk melakukan i’tikaf. Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha; beliau mengatakan, “Salah seorang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang istihadhah beri’tikaf bersama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang wanita ini melihat darah kekuningan dan darah kemerahan ….” (HR. Al-Bukhari)
  5. Jika seorang wanita yang melaksanakan I’tikaf terkena haidh, maka hendaklah ia keluar dari masjid, dan membesihkan diri di rumahnya sampai selesai masa haidhnya, lalu kembali ke masjid dan melanjutkan I’tikaf ini menurut pendapat Imam Asy Syafi’I, pendapat lain mengatakan hendaklah ia mendirikan tenda di halaman masjid dan kembali ke masjid setelah selesai dari masa haidh, karena tidak dibolehkan seorang yang haidh untuk memasuki masjid.
  6. Dalam I’tikaf wajib, wanita yang terkena haidh, diwajibkan Qadha’ sejumlah hari yang ditinggalkan ketika haidh, dan tidak diwajibkan Kafarah untuknya.
Kapan mulai dan selesai I’tikaf?

Dianjurkan untuk memulai i’tikaf di malam tanggal 21 setelah magrib, kemudian mulai masuk ke tempat khusus (semacam sekat atau tenda) setelah subuh di pagi harinya (tanggal 21 Ramadhan).

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha; beliau mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Aku membuatkan tenda untuk beliau. Lalu beliau shalat subuh kemudian masuk ke tenda i’tikafnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Berkata Imam Asy Syafi’I dan beberapa sahabatnya : “Barangsiapa yang ingin mengikuti Nabi Muhammad SAW dalam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan ramadhan, maka hendaklah ia masuk ke masjid sebelum terbenam matahari pada malam kedua puluh satu, agar ia tidak tertinggal suatu apapun (dari amalan), dan keluar (selesai) setelah maghrib pada malam Iedul fitri , baik hitungannya genap satu bulan atau kurang, dan yang lebih afdhal (utama) adalah tetap tinggal di masjid pada malam Iedul fitri, sampai melaksanakan shalat Iedul fitri di dalamnya, atau keluar ke tempat shalat jika melaksanakan shalat Ied di sana”.

(Qowiyyul Amin Alfaruq)

Wallahu A’lam Bis Showab.
  
Referensi
  1. Taysirul Alam Syarh Umdatul Ahkam – Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam
  2. Al Muhadzab Fi Fiqhil Imam Asy Syafi’I – Abu Ishaq As Syirazi
  3. Al Ikhtiyar li Ta’lilil Mukhtar – Abdullah bin Mahmud Al Muashili
  4. Al Mughni – Ibnu Qudamah Al Maqdisi
  5. Al Majmu’ Syarh Al Muhadzab – Yahya bin Syaraf An Nawawi

0 comments:

Post a Comment