Wednesday 12 August 2015


DR Yusuf Qardhawi_ Distorsi Sejarah Islam, hal 25 :

Salah satu yang ingin saya jelaskan dengan obyektif adalah para penguasa dulu tidak memiliki pengaruh seperti para penguasa di zaman sekarang. Pemerintah di zaman sekarang mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap masyarakat. Ia memiliki kendali dalam bidang pengajaran dan pendidikan. Dari mulai tingkat Taman kanak-kanak (TK) hingga tingkat Universitas.

Ia memiliki kendali media massa. Baik dalam bentuk tulisan, audio ataupun visual, media-media itulah yang pada zaman sekarang membawa berita dan pemikiran, dan semua itu bisa diwarnai sesuai dengan keinginan.

Adapun negara di zaman dahulu tidak memiliki pengaruh seperti itu, tidak setengah ataupun sepersepuluhnya.

Pada zaman dahulu ulama mengajar masyarakat di masjid dan sekolah. Dan semua itu dilakukan bukan atas perintah negara. Pada zaman dahulu, ulamalah yang memberikan fatwa kepada masyarakat. Baik dalam urusan agama ataupun kehidupan mereka. Dan hal tersebut tidak ada hubungannya dengan negara sedikitpun.

 
Pada zaman dahulu negara yang dipersonifikasikan dalam diri seorang pemimpin--memang menentukan para hakim. Namun dalam memutuskan hukum, mereka bebas dari pengaruh negara. Sehingga negara tidak ada hubungannya sedikitpun juga dengan hukum mereka, bahkan terkadang para hakim menghukumi negara. Pada waktu itu kita sering mendapatkan para hakim menghukumi para penguasa. Sehingga para penguasa tidak bisa berbuat apa-apa kecuali melaksanakan hukum tersebut. Dan satu satunya hukum yang menjadi acuan para hakim ketika itu adalah syariat Islam.

Pada waktu itu, negara sangat disibukkan oleh urusan peperangan, perdamaian dan menjaga keamanan. Sehingga pada waktu itu orang yang hidup di kota dan desa menjalankan kehidupan sehari-hari dengan nilai agama. Jauh dari pengaruh negara, penuh kebebasan dan tanpa ada satupun yang mengontrol ataupun yang menyempitkan mereka.

# Analisa yang dituliskan beliau sama persis dengan realita zaman dahulu yang terjadi di pedesaan maupun perkotaan. Di Indonesia, mengaji dan belajar al quran di surau oleh seorang kyai terbukti mampu memberikan pengaruh besar bagi masyarakat sekitar. Dan sebuah pondok pesantren dahulu juga memiliki pengaruh yang sangat besar.

 Ia tidak hanya mampu menggerakan santri saja, bahkan masyarakat desa pun mengikuti komando para Ulama untuk menjaga keamanan desa, gerakan protes sosial atau mengusir penjajah ( lihat buktinya di Api Sejarah 2 hal: 88-95). Namun saat ini berbalik keadaan.

Semakin besar kajian ilmu dan pembangunan pesantren ternyata nuansa itu semakin terkikis.
DR. Kuntowijoyo mengungkapkan :
“ Ketika pesantren masih kecil dengan sedikit santri, pesantren sepenuhnya milik lembaga desa, tempat anak-anak belajar. Ketika pesantren sudah membesar, ia akan lepas dari desanya dan berdiri sendiri. Akhirnya menjadi lembaga yang terasing dari desanya”

# Maka sangat dimaklumi ketika M. Natsir, dalam ceramahnya di Tanjung Priok 1984 mengungkapkan kesedihannya, :

“ 10 nopember yang lalu pada jaman hidupnya almarhum bung Tomo, pernah kota Surabaya yang begitu indah, dinaungi oleh suara syahdu. Suara yang menggetarkan hati-hati nurani manusia. Yang iman dan yang ingkar sama-sama bergetar hati mereka dengan kalimat yang suci. “Allahuakbar… ! allahuakbar…!”, di seluruh antero Surabaya pada waktu itu. Bahkan kalimat itu masih abadi sampai hari ini dan seterusnya. Akan tetapi tidak perlu dikumandangkan lagi, tabu buat masyarakat Indonesia. ”

# Allah ya karim.. kembalikan kenangan indah masa lalu untuk kemuliaan agama ini..

(irsyad/)

0 comments:

Post a Comment